Kamis, 29 April 2010


salams,
Jumat, 30 April 2010

yah, belakangan ini entah kenapa, aku sangat sensitif dan merasa terus terganggu dengan ulah pembentukan opini publik melalui media.
Pagi itu, kulihat Editorial Medi* Indonesia di Metr* TV, tema yang mereka angkat adalah terkait mekanisme hukum acara (legal formiil), terkait dengan penyelidikan yang dilakukan oleh KPK terhadap Mantan Ketua KSSK yang sekarang Menkeu, Sri Mulyani Indrawati dan Mantan Gubernur BI, yang sekarang wakil Presiden, Boediono.
Hal yang sangat membuatku risih sampai menulis ini adalah pernyataan yang mengatakan bahwa tidak dipanggilnya keduanya ke kantor KPK adalah tidak memenuhi azas hukum equallity before the law (persamaan kedudukan setiap subjek hukum dihadapan hukum).

lho, apa kaitannya dengan azas tersebut..?
jelas-jelas hukum acara tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini, (yang masih mengacu pada KUHAP, sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU No.31/1999 dan UU No.20/2001), tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa pihak dalam tahap penyelidikan, penyelidik , memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan.

Pasal 5 (1) KUHAP menyebutkan :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Terkait dengan butir-4 diatas, tindakan lain disini adalah butir yang memberikan celah untuk hukum acara di kemudian hari jika mengatur hal berbeda atau memperluas kewenangan penyelidikan. Namun, kenyataannya di dalam UU No.31/1999 dan UU No.20/2001, tidak ada aturan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk melakukan pemanggilan.

Selanjutnya, jika kita lihat dalam pasal 7 (1) KUHAP, penyidik :
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Huruf g diatas jelas menyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan pemanggilan terhadap seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka baru ada di tahap penyidikan.
Oleh karena itu, jelas bahwa tidak ada satupun kewenangan dari penyelidik untuk melakukan pemanggilan kepada kedua orang tersebut, selain itu KPK sendiri juga telah memiliki SOP dalam melakukan pemeriksaan. Kewenangan tersebut baru ada di tahap penyidikan.

Azas equality before the law baru dianggap tidak dipenuhi jika aparat penegak hukum memperlakukan subjek hukum secara berbeda, dengan catatan telah ada suatu aturan hukumnya terlebih dahulu (azas legalitas). Persamaan dihadapan hukum (Hukum disini adalah jelas, yaitu hukum yang merupakan hukum positif yang telah diundangkan dan berlaku di masyarakat).
Azas tersebut telah dilanggar, misalnya dalam hal jika saja kemudian hari keduanya telah di tetapkan sebagai tersangka di tahap penyidikan, lalu pihak penyidik melakukan penghentian penyidikan terhadap Sri Mulyani indrawati namun melanjutkan ke tahap penuntutan terhadap Boediono, ataupun sebaliknya.

salams,
Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar