Selasa, 06 April 2010

Auf Wiedersehn

Sampai sekarang, masih sangat jelas sekali dalam pikiranku setiap detil kejadian yang hanya berlangsung sesaat itu yang kusadari akan mengubah kelakuan dan cara pikirku selama ini yang salah. Malam itu, aku masih ingat sekali, yaitu tanggal 12 Mei 2001, saat itu usiaku 16 tahun, seperti umumnya anak remaja pada umumnya, aku juga mempunyai acara ‘malam mingguan’ dengan teman-temanku.

Setelah salat maghrib, aku sedang bersiap-siap untuk pergi, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamarku, ternyata ibuku yang sudah berdandan sangat rapi.

“Lhooo, Mama, mau kemana..?? koq rapi bener sih..??” ujarku sambil mengambil keripik kentang di atas meja belajarku.

“Mama sama Papa mau ke Kondangan Tante Riris,.” jawab ibuku. Mendengar penjelasan itu, spontan aku sadar arah pembicaraan ini.

”Lho, kan Vito juga mau pergi sama temen, berati rumah kosong dong..?? Vita Mama ajak..??” jawabku ketus yang sedikit kesal karena tahu kemungkinan bahwa acaraku malam ini akan batal.

“Yah enggaklah to, dia lagi sakit kan..?? kamu aja dulu yang jagain dia di rumah..!!” kata ibuku sambil melihat dirinya dikaca dan membetulkan posisi tusuk rambut yang kelihatan kurang rapi.

“Apaan sih orang Vito mau per…” tiba-tiba aku berhenti bicara ketika ibuku membalikan badan dan melihat kearahku dengan tatapan ingin marah.

“Yaa..iya deh Vita sih gampang Ma, serahin aja sama Vito, asal ada duitnya,hehe..” kataku sambil menggerak2kan jari tangan.

“Naah, gitu dong…nih duit buat jaga Vita,cukup kan..??” kata ibuku sambil merogoh tasnya dan menyerahkan selembar uang 20.000 rupiah. “siiip, berees deh..!!”

***

Seteleh kedua orang tuaku berangkat ke pesta, hari menunjukkan pukul 18.37, praktis aku tinggal berdua saja dirumah, dengan adikku, Vita, yang sedang tertidur karena sakitnya. Lalu aku menelpon Farah, salah satu temanku yang sudah janjian ingin pergi bersama malam ini, untuk memberitahunya bahwa aku tidak bisa datang dan tidak usah dijemput. Di ujung telepon langsung Farah yang angkat

”Hoi.. ”

”Hai..hoi...bukannya Assalamualaikum kalo nerima telepon..” seruku.

”Suka-suka gue ah to..eh, Aldo dah sampe belom..??” ujarnya. Dari suaranya aku tahu bahwa ia sedang mengunyah makanan.

”Nah itu dia gue mao bilang, gue gak bisa ikut nih, gak jadi, gw kudu..harus...mesti..wajib.. jagain Vita..dia sakit..” ujarku sambil melongok ke kamar Vita, ”sekarang masih tidur tuh..”.

”Aah, gilingan nih, orang tujuan kita jalan malem ini kan mau kenalin loe sama Echa..” kata Farah dengan sedikit melengking.

”He..?? Echa siapa..??” jawabku.

”Echa..pe..deeeeeh...masasih loe gak inget itu tuh cewe yang pernah ke sekolah kita dulu, masuk2 kelas kita malahan, temennya Jaki...yang rambutnya sebahu, kacamata..”

”Astaga...koq gw gak tau sih..??gw kira kita mau jalan2 aja...?!!” sejenak pikiranku melayang mengingat wajah Echa, Echa emang cantik sekali, dan dia juga terlihat pintar, dia kesekolah kami dalam rangka mencari data untuk tugas sekolahnya dengan menjadikan kami sebagai responden.

”Hehe...trus gimana nih...??”kata Farah

”Yaaah...gimana yee..??”ujarku.

”Udaaah bentar aja koq paling sejam, paling loe balik si Vita masih tidur, lagian sakit apa sih..?? tanya Farah.

”Demam gitu, flu kayaknya”

”Ya udah tinggalin aja bentar, toh dia juga udah kelas 5 SD udah bisa tuh ditinggal Cuma sejam lagi..gimana..??gimana...??” ujarnya

”Ya udah deh, gue ikut, tapi kemana sih..??” Jawabku menanggapi.

”Udah ikut aja...loe SMS Aldo gih suruh cepetan..!!”

”Oke deh...assalamualaikum”kataku sambil menaruh gagang telepon.

***

Tidak berapa lama kemudian, setelah berdandan kembali, dari luar rumahku aku mendengar suara klakson Vios si Aldo. Aku langsung bergegas ke arah pintu untuk pergi. Namun, ketika melewati kamar Vita, aku melihat bahwa Vita sudah bangun, mngkin juga terbangun karena klakson yang dibunyikan Aldo berisik sekali dan bertubi-tubi. Lalu aku masuk ke dalam kamarnya. Vita kelihatan lemas dan pucat duduk diatas tempat tdurnya.

”Lho, udah bangun vit..?”ujarku sambil menuju kearahnya dan duduk disampinya.

”Abang mau kemana..??Mama sama Papa mana..??” ujarnya lemas sambil mengucek-ucek mata tanpa menanggapi pertanyaanku sebelumnya.

”Papa sama Mama pergi ke pesta Tante Riris, tadi mau ajak Vita, tapi Vitanya masih tidur, katanya sih pulang jam 11an, kan jauh, terus sekarang gimana rasanya badannya udah enakkan...??”, tanyaku sambil mengetik SMS ke Aldo yang ada diluar rumah untuk menunggu sebentar.

”Iya, udah mendingan,,Abang mau kemana sih..??”, tanya Vita, namun aku sendiri menyadari bahwa ia masih lemas dan masih sakit.

”Eeemm...ee..abang mau ke Warung pak Sapto sebentar beli makanan buat Vita”, ujarku berbohong, karena saat itu aku sendiri berpikir toh aku juga pergi hanya sebentar, karena Aldo baru saja memberi tahu lewat SMS bahwa acara malam ini adalah janji bertemu Echa di JCO, itu berarti hanya sekitar dua kilometer dari rumahku, karena rumahku memang berada didekat jalan utama.

”Ooohh....Vita titip beliin..” tiba-tiba Vita berhenti berbicara dan matanya mengarah ke arah tangga menuju ke lantai dua yang bisa terlihat langsung dari kamar Vita, spontan aku juga langsung melihat ke arah tangga, namun tidak ada apa-apa disanan.

”Kenapa Vit..??” tanyaku.

”Papa sama Mama kan pergi, itu siapa dilantai dua, koq tadi Vita liat ada orang pakai baju putih naik keatas..?”, kata Vita tanpa melepaskan pandangannya dari tangga..

”Halah, masa sih..?? gak mungkin lha..masih ngigo ya..??”, kataku seraya mengacak-acak rambutnya yang memang sudah acak. Saat itu, kulihat diatas tempat tidurnya ada sebuah buku belajar Bahasa Jerman. Memang adikku ini, termasuk anak yang pintar, ia disekolahkan orang tuaku di sebuah Sekolah Dasar swasta yang cukup terkenal yang mengharuskan siswanya untuk belajar salah satu bahasa Asing selain Inggris dari usia dini. Kebetulan Vita memilih Bahasa Jerman, dan ia sering mempraktekannya kepadaku. Meskipun aku tidak mengerti, namun kadang-kadang jika sedang tidak sibuk aku bersedia untuk menemaninya belajar.

”yaudah deh abang pergi dulu ya sebentar, Vita panggil aja Dyah ke rumah ajak main, eemm..maksudnya kalau Vita bete dan kalau-kalau abang pergi agak lama gitu” ujarku sambil bangkit. Sekilas kulihat ia menatapku dengan pandangan bertanya, seolah ia sudah tahu bahwa aku berbohong. Dalam hatiku berpikir ia pasti akan menolak untuk ditinggal sendiri dan mengancamku akan melaporkan ke ibu dan ayahku. Namun, kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya sedikit mengejutkanku.

”Iya, pokoknya kalo kelamaan ntar Vita telepon-teleponin mulu lho”, ujarnya sambil menatap tajam dan tersenyum kearahku, entah kenapa tiba-tiba ketika melihat wajahnya aku ingin memeluknya dan ingin berada disampingnya dan membatalkan niatku untuk pergi malam ini.

”Siip..hehe,,Abang pergi dulu yaa..”, namun itulah kata-kata yang keluar dari mulutku selanjutnya sambil kataku sambil mencium keningnya.

Ketika aku ingin keluar dari kamar, tiba-tiba Vita malah bangkit dari tempat tidur dan melingkarkan tanganya yang mungil kesekeliling pinggang ku dan bebisik suatu kata-kata yang hanya samar bisa kudengar ”au.. Wie...en..n”. Saat itu aku ingin bertanya kepadanya apa gerangan yang dikatakannya, namun tiba-tiba HPku bergetar karena Aldo miscall. Langsung saja aku berjalan menuju ke mobil Aldo diluar dan kulihat Vita berdiri di pintu depan.

”Vit, garasinya Abang gembok aja ya, kalau Dyah mau main Vita buka aja ya..!! oia, nanti buat Vita, Abang beliin Calpico Anggur kesukaan Vita aja yah”, ujarku sambil menggembok garasi dan menjulurkan kepala dari luar garasi.

”Iya deh terserah, berarti abang ke Indomaret dong, kan di Pak Sapto gak jual Calpico..??!”, ujarnya datar.

”Ooh iya, ya...abang ntar kesana deh sebentar..!!”, ujarku.

Setelah itu, aku langsung menuju ke arah Mobil Aldo, meskipun aku sadar bahwa aku telah berbuat salah, namun aku meneruskan rencana ini dengan meninggalkan adikku yang sedang sakit, sendirian di rumah. Selain itu, sepanjang perjalanan, aku juga beberapa kali terlintas kejadian kecil dan aneh yang baru saja terjadi yaitu ketika tadi dikamar Vita, Vita bilang ia melihat ada seseorang yang naik, dengan baju putih kelantai dua. Saat itu aku terus berpikir mungkinkah itu maling, bagaimana jika adiknya diculik, disekap, atau mungkinkah itu setan..namun, aku terus mencoba untuk membuang jauh-jauh pikiran itu. Untuk mengurangi rasa cemasku, sempat dua kali aku telepon ke rumah, dan Vita mengatakan semuanya aman. Setelah itu, aku melupakan Vita setelah bertemu dengan Echa di JCO.



***

Sekitar dua blok sebelum rumahku, kulihat HP, waktu menunjukkan pukul 21.07, itu berarti aku pergi hampir selama 2 jam. Disana aku mencoba untuk menelpon Vita, namun tidak ada yang mengangkat telepon rumah. Aku berpikir mungkin Vita sudah tidur, atau sedang asik bermain Playstation dengan Dyah.

Dari dalam Vios si Aldo, aku melihat ada beberapa orang yang sedang berlari-larian sambil membawa ember sambil berteriak “kebakaran…kebakaran..!!”, Kontan saja, muncul bermacam-macam rasa cemas dalam diriku. Mungkinkah rumah yang terbakar adalah…

***

Begitu tersadar, hal pertama yang ada dibenakku adalah dimanakah saat ini aku berada. Aku mencium bau obat disekelilingku aku melihat ruangan sekelilingku serba putih, selama sekitar 5 menit baru bisa kusadari tempatku berada yaitu di sebuah ruangan di Rumah Sakit. Namun, aku tak dapat menebak berada di Rumah Sakit mana. Saat kesadaranku sudah berangsur-angsur kembali, aku bisa melihat ada seseorang yang sedang tertidur di sofa RS, didalam kamar itu, tidak jauh dari tempat tidurku dan hampir sekitar 10 detik baru bisa kukenali sosok itu adalah ibuku yang masih berdandan lengkap dengan pakaian pestanya.

Kulihat jam dinding yang ada disamping televisi, waktu menunjukkan pukul 00.56. Televisi saat itu sedang menayangkan Siaran Langsung Premier League. Seharusnya, dalam kondisi ‘normal’, aku akan langsung tertarik untuk menontonya, apalagi kulihat saat itu Liverpool sedang bertanding melawan Arsenal. Namun, saat itu, aku sama sekali tidak berminat untuk mengikutinya. Aku memilih untuk membangunkan ibuku.

”Ma...”, seruku dengan setengah berteriak, karena dikamar itu hanya ada aku dan ibuku.

Hanya dengan satu kali panggilan, ibuku langsung terbangun dan menghampiriku. Kulihat wajahnya sangat pucat dan matanya merah. Terlihat jelas sekali bahwa kemungkinannya ialah antara; ia sehabis menangis atau belum tidur sama sekali, atau keduanya. Sesampainya disamping tempat tidurku, ibuku langsung memegang tanganku, yang tidak diinfus. Di infus..?? lho,,aku baru menyadari bahwa tangan kananku di infus dan...kakiku..?? apa yang terjadi dengan kakiku? Kulihat kaki kananku dililit perban sampai lutut dan kucoba untuk menggerakkannya, rasanya sangat sakit sekaligus panas.

Aku melihat wajah ibuku, ketika itu kulihat ia kembali menangis, aku sadar akan kata-kata pertama yang harus kuucapkan. Namun, baru saja aku berniat untuk membuka mulutku, ibuku seolah sudah dapat membaca pikiranku, ibuku meletakkan jari telunjuknya ke mulutku.

”To, ini bukan salah...>hiks<...siapa-siapa...!!”, ujar ibuku sambil membetulkan posisi rambutku yang memang sudah panjang dan menutupi keningku.

”Ma, ada apa sih sebenarnya..??Vito gak inget apa-apa...?? Terakhir yang Vito inget pas Vito turun dari....” tiba-tiba aku menghentikan ucapanku karena takut akan ibuku tambah marah karena tahu aku telah melanggar janji dengan pergi meninggalkan rumah apalagi meninggalkan Vita sendiri. Vita. Bagaimana kondisinya sekarang. Aku ingin sekali menanyakan itu, namun entah kenapa aku merasa takut untuk menanyakannya.

”Iya, mama udah tau koq,..>hiks<.. kamu jadi pergi sama temen kamu, tadi..>hiks< pak Bambang, tetangga kita depan rumah cerita kalau..>hiks< dia lihat kamu turun dari Mobil si Aldo, sekitar jam 9, pas api kebakaran di rumah kita itu sedang besar-besarnya”, ujar ibuku seraya menrogoh tasnya untuk mengambil saputangan untuk menyeka air matanya.

Setelah ibuku mengatakan itu, barulah kuingat beberapa detil dari cerita ini. Aku ingat usaha keras Aldo untuk menahanku masuk ke dalam rumah. Setelah melihat rumahku dibalut api dari dalam mobil Aldo, aku kalap dan gegabah untuk mencoba masuk dan menerobos kedalam api. Aldo hanya bisa mengahanku samapi di depan garasi, namun ketika aku memanjat garasi, ia sendiri juga tidak berani masuk ke dalam. Dari melihat pintu garasi masih dalam poisisi tergembok, aku tahu bahwa Vita masih ada didalam rumah, makanya aku rela untuk melakukan hal nekat tersebut. Lalu...aku sampai di pintu depan rumahku, lalu...lalu...aku tidak ingat apa-apa lagi.

”Ma, maafin Vito ma...mmm...Mama gak marah...??”ujarku sambil merigis sedikit menahan rasa sakit di kakiku.

”Buat apa Mama marah To,..??marah kan..>hiks<.. gak akan membuat semuanya lebih baik..Mama tahu kamu udah bikin kesalahan...kesalahan..>hiks<... besar...namun dalam kondisi seperti ini, lebih baik kita lalui saja ini..>Hiks<.. bersama-sama..”ujar ibuku, namun ketika ibuku mengatakan dalam ’kondisi seperti ini’, entah mengapa aku sendiri menyadari ada hal besar lain yang terjadi yang belum diceritakan oleh ibuku, namun kuputuskan untuk diam saja. Untuk sesaat kami diam saja, dan beberapa kali kulihat ibuku sedang menatapku dalam sambil terisak.

”Papa mana ma..??” ujarku memecah keheningan di ruangan yang sepi itu.

Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, ibuku malah menutup wajahnya dengan saputangan dan menagis. Sekitar beberapa menit ia menagis terisak-isak, aku membiarkannya dahulu, mataku menatap kosong ke layar televisi melihat tayangan ulang gol yang dicetak oleh Stephen Gerrard yang membuat Liverpool memenangkan pertandingan tersebut, namun pikiranku melayang kemana-mana. Dimanakah ayahku saat ini..?? Dimana Aldo saat ini..?? Pikiranku juga melayang ke pertemuan dengan Echa, kami sempat berjalan-jalan di Mal selama hampir satu jam, sampai aku mengatakan kepadanya aku harus pulang, karena ditunggu oleh adikku di rumah. Kami sempat pula janji untuk bertemu lagi dan aku meminta nomor HP Echa. Mungkin bisa dikatakan kencanku tadi berhasil. Namun, pertemuan yang baru berlangsung sekitar enam jam yang lalu itu, terasa sudah menjadi suatu peristiwa yang sudah berlalu sangat lama sekali dalam pikiranku, seperti sudah sekitar seminggu yang lalu.

Setelah itu, pikiranku melayang ke hal lain...Bagaimanakah keadaan Vita. Entah kenapa ketika nama yang terakhir ini terngiang didalam kepalaku, aku merasa hampa. Pikiranku malah kembali melayang disaat-saat aku meninggalkan dia. Mungkinkah Vita tahu bahwa aku berbohong..??. Teringat pula perasaanku yang tidak menentu pada saat meninggalkan dia sendirian dirumah, yaitu ada suatu perasaan yang kuat untuk tetap bersamanya saja, menemaninya. Tatapannya. Pelukannya. Tanpa kusadari aku mulai menangis. Tanganku mencoba meraih tisu yang ada di samping tempat tidur untuk menyeka air mataku, namun terlalu jauh dan susah meraihnya dalam posisi tubuhku yang bibalut perban dan infus, tiba-tiba tangan ibuku sudah mendahuluiku mengambilkan selembar tisu dan ia menghapus air mata dari wajahku.

”Papa lagi di ICU, lagi menemani Vita,...>hiks..< Vita krisis, ia mengalami luka bakar stadium 3, ..” ujar ibuku sambil menangis. Seketika itu kusadari bahwa Vita memang masih ada didalam rumah pada saat aku ingin menyelamatannya.

“Kamu diselamatkan..>hiks<.. oleh temanmu Aldo yang akhirnya juga masuk ke dalam dan bebarapa orang warga..karena kamu pingsan dan kaki kamu tertimpa reruntuhan pintu yang terbakar..”, ibuku melanjutkan. Setelah ibuku berkata demikian, aku baru menyadari pula selain terbakar rasanya tulang kakiku juga patah. Aku tak tertarik untuk menanyakan hal tersebut. Tiba-tiba HP milikku berbunyi, ada SMS masuk, kuminta tolong ibuku untuk membacakannya.

“Ass. To, tadi gw jenguk lo sama Amel, Farah, Dodo, dan Echa, kita mau tunggu elo bangun, tapi jam besuk udah abis, makanya kita pulang, tadi udah ketemu nyokap loe sih, besok deh kita kesana lagi, sabar, berdoa dan cepet sembuh ya fren..salam buat keluarga lo juga..Aldo.Was”, kata ibuku sambil membaca isi SMS tersebut. Aku tidak berkata dan bereaksi apa-apa mendengar hal itu, karena aku masih memikirkan Vita yang sedang di ICU. Paling tidak terlintas sekilas di kepalaku aku masih mempunyai teman2 yang baik dan perhatian kepadaku meskipun sempat pula terlintas dipikiranku ada juga kesalahan mereka atas semua ini, namun kubuang pikiran itu.

Lama kami terdiam dan aku hampir pula tertidur, namun, tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku terbuka, sedikit dibanting, aku tidak tahu siapa yang masuk, karena terhalang sekat tirai antar pasien. Ibuku setengah berdiri dari tempat duduknya dan melongokkan kepala, ketika ia melakukan hal itu, ternyata ayahku sudah berjalan ke arah kami, awalnya, dia berdiri tepat di bawah televisi. Sama seperti ibuku, ia masih berpakaian rapi sehabis pergi pesta tadi. Pertama kali dalam hidupku kulihat ayahku menangis, ia menangis dan menundukkan kepalanya sambil memeluk kami. Tanpa ia jelaskan aku sudah tahu apa yang terjadi di ICU sana, kemungkinan besar ialah.....

***

Hari ini, tepat 5 tahun setelah kematian Vita, saat ini, aku sedang berlutut sendirian di depan kuburannya. Sebenarnya aku pergi dengan Echa, namun ia kusuruh untuk menungguku saja di dalam mobil di parkiran pelataran kuburan. Setelah berdoa, dan emosiku sudah lebih stabil setelah menangis, kucoba untuk kembali mengingat setiap detil kejadian dimalam itu. Beberapa hal yang kutahu adalah, bahwa Vita sudah tahu bahwa aku berbohong dengan mengatakan pergi sebentar ke Warung pak Sapto, hal ini kuketahui dikemudian hari dari cerita Dyah, teman Vita yang mengatakan Vita sempat menelponya malam itu dan mengatakan Vita tahu bahwa aku berbohong kepadanya.

Selain itu, beberapa kejadian kecil lainnya seperti perasaanku yang kuat untuk bersama dengan Vita malam itu, tatapan tajam mata Vita, kuanggap saja sebagai suatu peringatan, sekaligus firasat perpisahan. Perpisahan selamanya. Selain itu, mungkin aku mengerti akan pernyataan vita yang mengatakan ia melihat sesosok berbaju putih yang ia lihat sedang naik ke lantai 2 dirumahku. Kesimpulan yang dapat kutarik adalah itu merupakan peringatan kepadaku di malam itu dari Tuhan untuk tidak meninggalkan rumah atau paling tidak berhati-hati dalam meninggalkan rumah. Karena setelah kejadian itu, pihak pemadam kebakaran mengkonfirmasi kepada keluarga kami, bahwa titik api berasal dari lantai dua rumah kami, tepatnya dari kamar atas, yaitu dari setrika yang belum dimatikan diatas meja. Aku ingat bahwa aku adalah orang terakhir yang menyetrika baju dirumah. Karena, setelah Farah menelponku malam itu, aku langsung ke lantai dua dan menyetrika baju di kamar itu untuk aku gunakan pergi malam itu.

Sejak kejadian itu, tidak pernah sekalipun orang tua ku menyalahkanku akan kematian Vita. Mungkin karena mereka tahu hal tersebut tidak akan membawa Vita kembali. Selain itu, tanpa mereka lakukan itu pun aku sudah dengan sendirinya merasa bersalah atas semua ini. Ketika rasa bersalah datang menghampiri pikiranku, yang sering terjadi adalah aku malah menyalahkan teman-temanku yang mengajakku pergi malam itu. Namun, ketika perasaan itu datang, orang tua ku selalu disampingku untuk mengatakan hal ini bukan kesalahan siapa-siapa, memang kehendak Tuhan untuk memanggil Vita malam itu. Selain itu, kedua orang tuaku selalu mengambil sisi positif dari semuanya. Misalnya, mereka sering mengatakan bahwa masih bersyukur tidak kehilangan kedua anak tercintanya di malam itu.

Sampai saat ini, dan mungkin seterusnya aku akan selalu menggunakan didikan dan arahan dari mereka sebagai panduan hidupku. Memang, manusiawi jika aku merasa menyesal dan bersalah, namun aku tidak akan menjadikan kejadian itu sebagai akhir dari semuanya, sebagai penyesalan seumur hidup yang tidak berguna. Sebaliknya aku malah akan menjadikan hal tersebut sebagai suatu kenyataan hidup yang pahit yang akan dialami semua orang, yaitu perpisahan dan kematian. Aku selalu berpikir lebih baik menerimanya daripada menyesalinya. Dengan begitu wujud lain dari rasa cintaku kepada adikku, Vita, akan tercapai. Aku tersadar dari lamunanku ketika rintik hujan jatuh di wajahku, segera saja aku bangkit untuk pergi dari kuburan mungil dihadapanku itu, untuk berlari kembali ke parkiran.

Didalam mobil, Echa sudah duduk di posisi mengemudi, jadi kubiarkan saja ia yang menyetir. Sambil melihat arah pelataran kuburan dari dalam mobil, pikiranku kembali melayang ke satu lagi detil kecil dimalam itu. Yaitu, suatu kata-kata atau kejadian yang sampai sekarang aku tidak mengerti, yaitu kata-kata berbisik yang dilirihkan Vita ketika ia memelukku. Entah mengapa, aku merasa ada arti yang sangat dalam dari kata-kata tersebut, meskipun aku hanya samar-samar bisa mendengarnya..

”au.. Wie...en..n”.


Auf Wiedersehn *)- Bahasa Jerman – ”Selamat Tinggal”


-----------------------------------------------------------------------------------------

Anda

Thru, 10 November 2006, 09.53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar