Selasa, 06 April 2010

RESIKO HUKUM TERHADAP LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN BPK RI


Latar Belakang Permasalahan

Pada 2009, tercatat sudah 2(dua) kali hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) digugat ke pengadilan oleh auditee (pemerintah daerah). Jalur hukum yang digunakan adalah menyelesaikannya melalui mekanisme pengadilan perdata dengan menggugat Kepala Perwakilan BPK RI di daerah yang bersangkutan karena diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan mencemarkan nama baik dari pemerintah daerah bersangkutan.

Sekilas Tentang BPK RI
BPK RI adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (UU No.6(1) UU No.15 tahun 2006). BPK RI dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara bebas dan mandiri (Pasal 2 UU No.15 tahun 2006).
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu/PDTT (Pasal 6(3) UU N0.15 tahun 2006). Semua pemeriksaan tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada standar pemeriksaan (pasal 5(1) UU No.15 tahun 2004) yang kemudian mulai positif berlaku sejak dikeluarjannya Peraturan BPK No.1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Sebelum mengambil suatu keputusan hasil akhir BPK RI melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara (Pasal 6(5) UU No.15 tahun 2006). Berdasarkan SPKN, pemeriksa harus meminta tanggapan/pendapat secara tertulis dari pejabat yang bertanggung jawab terhadap temuan, simpulan dan rekomendasi termasuk tindakan perbaikan yang direncanakan oleh manajemen entitas yang diperiksa. Dengan demikian, bisa dicermati bahwa sebelum menjadi suatu LHP, pada dasarnya pihak pemerintah/daerah telah menerima dan mengetahui isi dari temuan pemeriksaan yang dituangkan di dalam Konsep Hasil Pemeriksaan (KHP), sebelum menjadi suatu LHP.

Laporan Hasil Pemeriksaan Sebagai Objek Hukum

Landasan utama untuk mengetahui status LHP sebagai objek hukum dapat dilihat pada Pasal 1 butir-14 UU No.15 tahun 2006 yang menyatakan :
“Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.”

Dari rumusan pasal di atas, dapat dilihat bahwa secara letterlijk dalam undang-undang, tegas menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan (HP) yang dituangkan dalam LHP adalah suatu Keputusan BPK berupa penetapan (beschikking), bukanlah suatu pengaturan (regelling). Hal ini dikarenakan keputusan BPK-RI yang dituangkan dalam LHP, bukanlah berupa suatu keputusan yang sifatnya untuk mengatur pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK RI, melainkan berisi suatu penetapan yang menimbulkan hak atau kewajiban atas diri seseorang dan atau instansi tertentu yang harus diperoleh dan atau dilaksanakan oleh pihak yang disebutkan di dalam LHP tersebut.
Dikarenakan sifatnya yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak lain, maka dalam hal ini sangat dimungkinkan dapat terjadinya perbenturan kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Oleh karena itu, perbenturan kepentingan dapat pula terjadi antara LHP yang dibuat oleh BPK dengan pihak entitas (auditee) yang notabene adalah pihak yang diperiksa oleh BPK. Dalam hal demikian, jika terjadi ketidakpuasan terhadap hasil kinerja BPK yang dimuat di dalam LHP BPK, maka BPK RI dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaar) terhadap kinerjanya, dan pihak entitas dapat mengajukan berbagai upaya hukum.

A. Upaya Hukum Peradilan Umum – Pidana

Penyelesaian melalui mekanisme pengadilan pidana dimungkinkan untuk diambil oleh entitas jika mereka tidak puas terhadap LHP BPK. Misalnya, dalam hal entitas tidak menerima LHP BPK dan menganggapnya sebagai suatu pencemaran nama baik. Maka dalam hal ini, pihak entitas dapat mengadukan permasalahannya ke penyidik, untuk kemudian ditindaklanjuti sebagai dugaan peristiwa pidana.
Dalam hal ini, Kepala Perwakilan BPK di provinsi bersangkutan yang dalam hal ini adalah penanggungjawab pemeriksaan merupakan pihak yang sepenuhnya bertanggungjawab, termasuk namun tidak terbatas pada pertanggungjawaban secara hukum.
Pada dasarnya, di dalam UU No.15 tahun 2006 telah memuat hak immunitas (kekebalan) terhadap anggota BPK, yaitu pada pasal 26(1) UU No.15 tahun 2006 menyatakan:
“Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan tugas, kewajiban, dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini. “

Namun, terhadap pemeriksa BPK – dalam hal ini pelaksana BPK, termasuk Kepala Perwakilan-, undang-undang tidak secara tegas menyatakan bahwa pemeriksa BPK mempunyai hak imunitas untuk tidak dituntut secara pidana. Di dalam Pasal 26 (2) UU No.15 tahun 2006 hanya menyatakan bahwa:
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK, Pemeriksa, dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan oleh instansi yang berwenang.”

Dengan demikian, pasal yang terakhir disebut diatas sifatnya hanya sebatas menegaskan kembali ke dalam regulasi positif terkait doktrin rule of law dan presumption of innocence. Hal ini dikarekanan, ketentuan tersebut tidak tidak serta merta memberikan hak imunitas (kekebalan) terhadap pelaksana BPK tas tuntutan dan atau gugatan hukum.
Ketentuan-ketentuan pidana yang tersebar di dalam paket perundang-undangan terkait keuangan negara, semakin mempertegas bahwa pihak pemeriksa BPK dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas kinerjanya.

B. Upaya Hukum Peradilan Umum – Perdata
Terkait upaya hukum melalui peradilan perdata, maka pelaksana BPK dimungkinkan untuk digugat dengan gugatan perbuatan melawan hukum/onrechtmatige daad.
Terkait dengan PMH, dasarnya adalah pasal 1365 KUHPer yang menyatakan :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Diklasifikasikan sebagai perbuatan yang melawan hukum adalah jika perbuatan tersebut bertentangan dengan aturan hukum di masyarakat. Hukum disini tidak terbatas pada hukum positif yang tertulis dan diundangkan oleh penguasa, melainkan juga hukum tidak tertulis yang hdup di masyarakat. Dengan demikian, jelas di dalam KUHPer menegaskan bahwa yang termasuk klasifikasi perbuatan melawan hukum dan dapat diajukuan gugatan terhadapnya adalah perbuatan materiil dari suatu peristiwa, baik dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalaian. Oleh karena itu, objek berperkara di dalam gugatan perbuatan melawan hukum ialah perbuatan (proses pemeriksaan) yang bersangkutan, termasuk akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Perbuatan materiil tersebut harus dapat dibuktikan bahwa memang telah dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian sebagai akibat yang timbul dari perbuatan tersebut.
Dalam kaitannya dengan LHP BPK, pihak penggugat dalam gugatannya akan menggugat bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK hingga kemudian keluar LHP BPK. Dalam gugatannya penggugat akan mencoba membuktikan bahwa benar LHP BPK telah dibuat secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat. Unsur kesalahan adalah unsur yang juga harus dibuktikan oleh penggugat.

C. Upaya Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (UU No.5 tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan UU No.9 tahun 2004 dan UU No.51 tahun 2009) .
Dalam Pasal 1 butir-3 UU No.5 tahun 1986 menyatakan;
“Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya, yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN diatur di dalam Pasal 2 UU No.9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.”


Jika coba diuraikan secara singkat, unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)berdasarkan pasal di atas adalah:
1.Surat penetapan tertulis
Bentuk formiil dari penetapan tersebut tidaklah menjadi suatu pedoman mutlak untuk menjadikan suatu penetapan dianggap sebagai keputusan TUN. Dengan demikian, bentuk dari penetapan tersebut tidak terbatas pada Surat Keputusan (SK), namun juga termasuk namun tidak terbatas diantaranya; nota dinas, memo, dan LHP BPK. Selain itu, untuk memudahkan dalam tahap pembuktian, maka undang-undang mengatur bahwa penetapan tersebut haruslah tertulis.
2.Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Berdasarkan Pasal 1 butir-2 UU No.5 tahun 1986, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk pandangan ini, sampai saat ini masih terdapat dikotomi terkait keberadaan BPK RI sebagai lembaha pemerintahan (eksekutif).
Ada pendapat yang dengan tegas menjadikan BPK RI bukanlah sebagai pemerintahan, seperti pendapat dari Baharuddin Aritonang yang mengklasifikasikan BPK RI sebagai lembaga negara non departemen, bukanlah lembaga pemerintah non departemen. Oleh karena itu, BPK yang tupoksinya adalah langsung diamanatkan di dalam konstitusi negara berperan di luar dari fungsi pemerintahan (eksekutif). Oleh karena itu, jika mengaitkannya dengan LHP BPK, maka pandangan ini menyatakan bahwa LHP BPK tidak memenuhi unsur untuk diklasifikasikan sebagai penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.
Lebih jauh, pandangan lainnya yang lebih banyak dipakai adalah pandangan yang mengklasifikasikan LHP BPK sebagai KTUN. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Indroharto yang mengatakan bahwa:
“Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”
.
Pendekatan interpretasi Indroharto ini berdasarkan pada doktrin trias politica oleh Montesquieu yang mengklasifikasikan fungsi negara kepada 3 fungsi utama, yaitu :
1) kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang
2) kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan;
3) kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili pelanggaran atas undang-undang.

Berdasarkan doktrin di atas dapat dilakukan interpretasi yang diperluas, bahwasanya BPK RI adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi, dan undang-undang (khususnya UU No.15 tahun 2004 dan UU No.15 tahun 2006). Dalam kedua regulasi tersebut jelas menyatakan bahwa BPK adalah lembaga negara yang melakukan pengelolaan atas tanggong jawab dan pengelolaan keuangan negara. Oleh karena BPK menjalankan fungsi yang diamanatkan melalui konstitusi dan undang-undang, maka BPK termasuk juga dalam melaksanakan urusan pemerintahan (eksekutif).
Oleh karena itu pula, BPK dapat dikualifikasikan sebagai badan atau pejabat TUN sebagaimana dimaksud di dalam pasal 1 butir-2 UU No.5 tahun 2986 di atas.

3. Bersifat Konkrit

Bersifat konkrit artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud. Dalam hal ini LHP BPK yang dituangkan baik dalam bentuk softcopy, hardcopy, maupun bentuk lainnya adalah bentuk konkrit dari keputusan BPK tentang LHP.
4. Bersifat individual
Maksudnya adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN tidaklah ditujukan untuk umum, melainkan ada subjek atau objek tertentu yang ditujukan dan disebutkan di dalam KTUN tersebut secara jelas dan terinci.
LHP BPK, karena di dalamnya jelas menyebutkan suatu kondisi, maka tentulah di dalam LHP BPK pasti akan dengan jelas menyebutkan instansi mana, siapa pegawai yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, LHP BPK bersifat individual.
5. Bersifat Final
Bersifat final maksudnya adalah dengan dikeluarkannya suatu KTUN, maka saat itu juga timbul hak dan kewajiban, juga akibat hukum kepada pihak lain. Dengan kata lain, KTUN tersebut tidak memerlukan approval (persetujuan) dari pihak lain untuk dapat positif berlaku. Dalam kaitannya dengan LHP BPK, maka saat di tandatangani LHP BPK untuk kemudian diserahkan kepada DPR/D, maka LHP BPK tersebut sudah final.
6. Mempunyai Akibat Hukum
Seperti disebutkan di atas, suatu keputusan badan atau pejabat TUN dapat dikategorikan sebagai KTUN jika keputusan tersebut mengakibatkan timbulnya hak atau kewajiban pada pihak lain. LHP BPK tentunya memuat rekomendasi yang di dalamnya menyatakan poin yang kontennya tentu menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak yang terkena rekomendasi.

Kesimpulan
Sebagai Badan yang melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban dan pengelolaan keuangan negara, BPK hendaknya memperhatikan dasar-dasar untuk menggugat diatas agar terhindar dari kasus-kasus aduan/laporan, gugatan perdata, maupun gugatan TUN, dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh LHP BPK. Untuk tugas melakukan pemeriksaan, BPK sebenarnya telah memiliki landasan-landasan dalam melakukan pemeriksaan agar tetap sejalan dengan visi dan misi BPK, yaitu yang dimuat di dalam Standar Pemeriksaan keuangan Negara (Peraturan BPK RI No.01 tahun 2007), Pedoman Manajemen Pemeriksaan (PMP 2008), Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan (Keputusan BPK RI Nomor 04/K/I-XIII.2/5/2008), Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja (Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 06/K/1-XIII.2/6/2008), Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (Keputusan BPK RI No. 02/K/I-XIII.2/2/2009), Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif (Keputusan BPK RI No. 17/K/I-XIII.2/12/2008) dan Kode Etik badan Pemeriksa Keuangan (Peraturan BPK RI No. 02 Tahun 2007) dan peraturan serta keputusan BPK lainnya yang mengatur masalah pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dalam hal gugatan telah dilayangkan oleh pihak penggugat, maka hal ini akan menjadi lebih rumit mengingat bahwa BPK RI harus mampu untuk melakukan pembuktian terbalik, apalagi kondisi yang ada saat ini dimana pegawai BPK RI yang berlatar belakang sarjana hukum tidak dimungkinkan untuk beracara di pengadilan. Selain itu, minimnya jumlah sarjana hukum di BPK juga menjadi kendala dan minimnya sosialisasi hukum kepada pegawai BPK RI.

Anda
April'10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar