Hari ini, kuperkirakan waktu menunjukkan hampir pukul dua siang. Matahari Bulan Agustus tepat berada tepat atas kepalaku yang hanya dilapisi selembar koran ini. Sebenarnya siih,, sekitar 2 meter dari tempat aku duduk bersila ini ada sebuah tempat teduh untuk menghindar dari sengatan sinar matahari, yaitu dibawah bayangan atap sebuah rumah makan kecil yang tepat berada disebelahku.. Namun, jika aku pindah dan duduk disana, tentunya selain aku menggangu kenyamanan penjual yang berjualan dan pembeli yang sedang makan, aku juga akan melewatkan kesempatan untuk mendapatkan uang dari para pejalan kaki yang kuharap nurani dihatinya akan terenyuh melihatku yang penuh keringat ini. Karena posisiku saat ini ada di jalan utama dimana mereka sering lewat.
Ya benar..!! aku memang mengisi sebagian besar waktuku dengan berharap pemberian orang lain. Ada yang menyebutku gembel, pemulung, pengemis, dan apapun itu. Entah mengapa, aku sama sekali tidak merasa keberatan dengan julukan itu, mungkin karena memang kenyataannya seperti itu. Memang, pada awal-awal ‘karir’ku, aku sempat tidak suka dan tersinggung dengan julukan-julukan itu. Namun, lama kelamaan aku terbiasa dan tidak perduli lagi. Mungkin karena dalam pikiranku selalu terpikir bahwa aku berada di jalan yang benar, paling tidak ‘benar’ menurut pandanganku dan orang-orang disekitarku, kata mereka pekerjaan ini halal.
Kebutuhan untuk menghidupi istri dan lima orang anakku, juga biaya sekolah untuk salah satu anakku yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama adalah alasan lain mengapa aku tetap bertahan pada pekerjaan ini, selain karena memang aku tidak mempunyai keterampilan apa-apa untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Apa..??Akunya saja yang tidak mau merubah nasib..?? mungkin benar, umurku memang lebih muda dari yang terlihat dari luar. Seingatku ibuku pernah cerita, aku dilahirkan pada bulan Juni tahun 1963, sekarang tahun 2006, berarti umurku saat ini 43 tahun. Benar kan..?? Masih cukup muda koq untuk mengasah keterampilan lain. Tapi kan jaman sekarang ini…Tunggu,..ada pejalan kaki menuju kemari…!!
Langsung saja kutundukkan kepalaku, kuturunkan selembar koran yang sudah ada diatas kepalaku sampai menutup setengah keningku, kupasang muka memelas, seperti belum makan. Meskipun sebenarnya, aku baru saja makan siang pemberian dari warung makan disebelahku ini. Dia semakin mendekat….mataku lurus mengarah ke wadah tempat cuci tangan yang kugunakan sebagai wadah uang yang diberikan orang. Lima langkah….empat lagkah…tiga langkah…dua langkah…dan…dan…lhoo..koq tidak ada suara apa-apa…?? Aku tidak mendengar suara uang dilemparkan ke dalam wadah milikku dan tidak juga mendengar atau melihat pejalan kaki tadi berjalan melewatiku. Berarti dia ada di…kutengadahkan kepalaku keatas, ternyata benar, ia sedang berhenti tepat disampingku.
Seorang wanita, mahasiswi, umurnya mungkin baru sekitar 20 tahun-an. Kusimpulkan dia mahasiswi, karena tempatku ‘bekerja’ memang berada di dekat sebuah kampus. Nama kampusnya Fakultas Hukum Universitas Andonesya. Kata orang-orang sih kampus ini bagus, terkenal, dan muridnya baik juga pintar. Sampai-sampai, satu-satunya anakku yang kusekolahkan juga bercita-cita untuk masuk kemari. Kadang-kadang, kalau sedang libur sekolah dia juga meminta agar dia diajak ke ’kantor’ku. Ia seringkali memungut selebaran dan brosur-brosur seputar kuliah dan acara-acara yang diselenggarakan disana. Aku sering mengatakan kepadanya agar membuang jauh-jauh saja cita-cita untuk sekolah disini, karena kata orang-orang, universitas negeri juga saat ini mahal uang kuliahnya, seperti halnya universitas swasta. Namun, anakku itu tidak percaya dan tidak perduli. Yahh…Sejujurnya, sampai detik ini aku sendiri masih yakin bahwa ini adalah kampus yang bermutu. Sementara aku sedikit melayangkan pikiranku sesaat tadi, kulihat mahasiswi tadi sedang sibuk mencari-cari sesuatu didalam tasnya. Tentu saja, ia ingin memberikan aku uang.
Kalau dia sampai berhenti berjalan, hanya untuk merogoh tasnya untuk mengambil uang untuk diberikan kepadaku, pasti jumlahnya lumayan besar..lima ribu, sepuluh ribu.. Sambil meremas remas ujung bajuku aku tetap menunduk dan menunggu uang jatuh ke dalam wadahku dan bersiap-siap mengucapkan terimakasih. Namun, tiba-tiba ia jongkok, tepat dihadapanku.
Cantik. Pasti menurut teman-temannya ia cantik, karena aku yang sudah berbeda jauh umurnya pun masih berpikir demikian. Rambutnya sebahu, bagian depannya dia biarkan tergerai ke depan. Selain itu, pasti dia anak orang kaya. Karena melihat cara dia berdandan, dan sebuah Hape yang dia pegang di tangan kanannya. Anakku juga pernah minta dibelikan Hape, meskipun aku dan mereka juga tidak tahu cara memakainya, makanya...
”Nama Bapak siapa..??”, ujar mahasiswi itu. Ucapan itu juga mengejutkanku dari pikiranku tentang Hape tadi.
”Sug...Sugeng”, jawabku lirih. Ternyata suaraku agak sulit keluar karena aku tidak berbicara dengan siapapun sejak pukul empat pagi tadi. Orang terakhir yang kuajak bicara adalah isteriku di rumah. Mau apa sih dia...Sejujurnya aku risih dan tidak senang akan keberadaannya. Kulihat tangan kanannya masih mencari sesuatu didalam tasnya.
”Pak Sugeng...saya Diana, mahasiswa sini..”, ujarnya tersenyum, sambil menunjuk logo dan tulisan kampus FHUA, yang memang terlihat dengan jelas dari tempatku duduk, meskipun terhalang pagar. Setelah itu, dia menjulurkan tangan kanannya yang sebelumnya ia gunakan untuk mencari sesuatu didalam tasnya. Ia ingin bersalaman..?? Bersalaman..?? apa ia tidak jijik..?? spontan kujulurkan pula tanganku.
”uhuk...!!”, aku pura-pura terbatuk setelah melepaskan tanganku, agar tidak terlihat canggung.
”mmm..begini Pak, Diana boleh minta tolong sama Bapak kan..??”, Ujar Diana, sambil berbicara, senyumnya terus ada di mulutnya. Ia juga menatapku dalam. Belum pernah seumur hidupku dilihat seperti itu oleh seseorang, selain almarhum ibuku. Aku merasa sangat dihargai, tapi tetap saja merasa tidak nyaman.
”Minta tolong...??”, jawabku ketus sambil melotot ke arahnya. Entah kenapa aku melakukan hal itu. Padahal dalam pikiranku aku menghargai dia, dan mungkin bersedia untuk menolongnya. Mungkin karena rasa risih masih menjalar dalam pikiranku. Pasti dia jadi takut denganku.
”Iya pak Sugeng, kalau mau ntar ada imbalannya deh buat Bapak..”, ujarnya sambil kulihat tangan kanannya kembali mencari-cari sesuatu kedalam tasnya. Kali ini ia berhasil mengeluarkan dompetnya. Lalu ia mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah dari dompetnya.
”Lumayan”, pikirku.
”Bagaimana Pak..?? mau bantu Diana gak..?? kalo iya, baru Diana jelasin bantu ngapain..??”, ujarnya sambil memasukkan kembali dompet tersebut ke dalam tasnya.
”i..iya...”, ujarku sambil berpikir apa kira-kira yang ingin dia ingin aku lakukan.
”Nah, gitu dong...gini pak, kan Diana mau bikin acara di kampus, acara musik gitu,,tapi Diana rasa,,ada panitianya yang mau curang. Tapi, Diana juga belum tau pasti sih,,soalnya, kata temen Diana, ada seorang Mahasiswa yang udah punya reputasi buruk di kampus, sekarang masuk ke dalam kepanitiaan yang Diana buat ini...?!”, ujarnya sambil terus menatap ke arahku. Ketika dia melakukan itu, aku beberapa kali membuang pandanganku ke arah lain. Sejujurnya aku hanya mengerti sedikit sekali yang ia katakan. Acara..?? Panitia..??
”Curang ngapain non..??”, ujarku sok mengerti.
”Iya Pak, pasti Bapak ngerti deh maksudnya korupsi lho Pak..mark up atau naik-naikin harga..misalnya harga awalnya Rp. 5000,- dinaikin sama dia jadi Rp. 10.000,-...gitu lho pak..!!”, Jawabnya sambil tetap tersenyum.
Korupsi..?? tentu saja aku mengerti korupsi. Aku kan kadang-kadang baca koran-koran bekas sambil bekerja. Anakku selalu kudidik agar jujur, dan tidak pernah mendekati perbuatan korupsi. Karena itu adalah hak orang lain dan dosa. Namun, tetap saja aku tidak paham. Bukankah korupsi itu cuma ada di ’orang-orang gede’ disana, wakil rakyat lah istilahnya. Masa sih ada di kalangan mahasiswa begini. Sementara itu, kulihat Diana kembali merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil sesuatu. Kali ini ia mengeluarkan sebuah benda kotak hitam sebesar sikat baju untuk mencuci yang digunakan istriku dirumah. Apaan tuh..??.
”Nih Pak, ini ada recorder alat ini gunanya buat ngerekam suara dan omongan..Naaah...Diana minta tolong, nanti mungkin sekitar jam empat, biasanya dia makan ke sini, sama temen-temennya..”, ujarnya sambil menyerahkan sebuah foto kepadaku yang ternyata sudah dia pegang daritadi ditangan kirinya yang juga memegang HP. Sebuah foto mahasiswa, berambut ikal, agak kurus
Pasti ini si koruptor itu, pikirku sambil mengambil foto 3 x 4 tersebut yang Diana sodorkan kepadaku untuk kuambil.
” Ini dia Pak, mahasiswa yang Diana curiga korupsi di kepanitiaan,, Diana minta tolong sama Bapak soalnya kan Bapak memang sehari-hari ada disini. Jadi dia ngga bakal curiga sama Bapak..Naah, Diana mau minta tolong, kalau nanti sore bener dia makan disini, Bapak Sugeng tolong hidupkan alat ini..”, ujarnya seraya memberi contoh kepadaku cara menggunakan alat petorder tadi. Ia memijit sebuah tombol yang lebih besar dibandingkan tombol lainnya. Setelah mencontohkan sampai tiga kali, ia memberikan alat tersebut kepadaku. Aku mengikuti yang dia contohkan tadi.
”Iya Pak, bener begitu. Pokoknya, foto dan recorder ini Bapak pegang dulu aja, kalau ada dia nanti sore, dan makan disini, Bapak langsung pencet aja tombol tadi...mmm....tapi alatnya ditutupin koran aja deh Pak...Koran ini aja...!!”, ujarnya sambil memegang koran milikku tadi yang sudah kulepas ketika kami mengobrol tadi.
Setelah diberi penjelasan sekitar dua menit, aku mengerti yang harus aku lakukan. Beberapa kali Diana bertanya apa aku sudah mengerti da menyuruh aku mengulang yang harus kulakukan. Nampaknya ini sangat berarti baginya. Namun, aku penasaran, kenapa sih Diana percaya saja denganku. Meskipun ia berkata akan memberikan imbalan padaku baru nanti sore setelah ’pengamatan’ tersebut berhasil kulakukan. Namun, tetap saja alat petorder yang kupegang ini nampaknya lumayan mahal. Kalau aku mau bisa saja alat ini kuambil saja dan mengemis di tempat lain agar tidak bertemu lagi dengan Diana.
”Diana percaya koq sama Bapak, Diana tau Bapak orang jujur, soalnya Diana pernah denger pas Diana lagi makan disini, Bapak lagi nasehati anak Bapak untuk selalu hidup jujur..”, ujarnya sambil menunjuk rumah makan disebelah kami yang siang itu sedang tidak ada pembeli, dan juga posisi penjual jauh dan terhalang tembok dari tempat kami berbicara. Rupanya Diana pernah melihat aku mengajak anakku ke tempat ’kerja’ku ini.
”lha iya non, hidup jujur itu penting..kalo kita jujur dan deket sama gusti, pan kita juga bakal bahagia..”, ujarku agar terlihat lebih bijaksana dihadapannya. Ia hanya tersenyum. Aku kembali menunduk. Aku juga mengerti mengapa dia memilihku dibandingkan meminta tolong kepada pihak lain. Penjual di rumah makan tersebut misalnya. Jika penjual rumah makan itu yang ditugaskan untuk melakukan hal ini, belum tentu dia bersedia melakukannya, karena ia akan sibuk sekali pada jam-jam seperti itu. Selain itu, mungkin dia berpikir bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan perduli kepada seorang pengemis selain untuk memberikan uang, jadi aku bebas bergerak. Alasan bocornya tugas ini dikemudian hari jika si penjual itu cerita kepada seseorang juga bisa terjadi jika ternyata mahasiswa didalam foto itu mengenal si penjual. Namun aku..??siapa sih yang mau kenalan denganku..?? yaaa..selain Diana.
”Oke deh Pak Sugeng...kita ketemu lagi ya nanti sore..mudah-mudahan sukses ya Pak..”, ujarnya sambil berdiri dan pergi menyebrang rel kereta yang berada sekitar beberapa meter dari tempatku. Setelah ia tidak terlihat lagi, aku berpikir akan tugasku ini. Wah, aku mengemban tugas penting. Hebatnya aku, aku akan membongkar korupsi dan masuk koran. Namaku akan terpampang dimana-mana. Hidupku dan keluargaku akan berubah. Namun, ada hal yang mengganjal dipikiranku. Rasanya mustahil kalau kalangan mahasiswa, apalagi mahasiswa FHUA yang terkenal pintar dan selalu menjadi idaman semua orang untuk bisa masuk kesana melakukan korupsi dan mencuri uang.
Namun, beberapa jam lagi, pandanganku ini akan berubah.....
***
Sekitar satu setengah jam setelah Diana memberikan petorder, mahasiswa yang fotonya kupegang untuk kurekam pembicaraannya datang. Dia tepat duduk berada disebelahku. Seperti dugaan Diana, dia datang untuk makan siang. Meskipun kenyataannya, dia datang lebih awal. Dia datang dengan dua mahasiswa lainnya, seorang mahasiswi, mereka berbicara mengenai rencana mereka untuk melakukan korupsi anggaran pembaiayaan suatu acara. Namun aku lupa nama acara yang dimaksud. Selanjutnya, sesuai dengan panduan dari Diana, begitu mereka mulai duduk setelah memesan makanan, aku langsung menghidupkan petorder tersebut yang kusembunyikan dibawah koran. Tentunya, setelah aku yakin dengan pasti bahwa dia adalah orang yang dimaksud dari foto yang diberikan oleh Diana. Mereka mengatakan bahwa mereka berencana melakukan mark up terhadap harga-harga barang yang akan mereka pesan. Mereka berada disana sekitar lima belas menit. Setelah aku yakin bahwa mereka sudah jauh dan tidak akan melihatku lagi, kumatikan alat tersebut sesuai dengan petunjuk yang diajarkan oleh Diana.
Tidak lama setelah mereka pergi, mungkin hanya berselang sekitar lima menit saja, datang sekelompok lagi mahasiswa sekitar lima sampai enam orang. Namun kali ini, dengan lebih terbuka dan bangga mereka mengatakan bahwa mereka sudah melakukan korupsi pada acara lainnya yang sudah diselenggarakan di kampus tersebut. Mereka seolah tidak perduli akan keberadaan pembeli lain, apalagi keberadaanku disekitar mereka yang mungkin mendengar pembicaraan tersebut.. Namun, karena Diana tidak menyuruhku untuk merekam pembicaraan itu, aku tidak merekamnya. Aku hanya mencoba untuk mendengar dan menyimak dengan seksama. Posisi mereka memang agak jauh dari tempat aku duduk. Namun, karena memang mereka semua berbicara dengan suara keras jadi aku mendengarnya. Sekitar dua puluh menit setelah kedatangan mereka, tiba-tiba ada seorang mahasiswa duduk tepat disebelahku. Tepat di tempat mahasiswa didalam foto tadi duduk. Dari luar ia tampak seperti anak baik-baik. Namun yang terjadi selanjutnya kembali membuatku terkejut untuk kesekian kalinya dihari itu.
Setelah memesan makanan didalam, si anak ‘baik-baik’ ini duduk kembali ke kursi tadi. Sambil menunggu makanannya datang, ia mengeluarkan Hape miliknya dan menelpon seseorang. Ternyata yang mereka bicarakan di telepon juga mengenai rencananya untuk melakukan korupsi anggaran biaya suatu acara kampus. Dari pembicaraannya, aku juga menyimpulkan bahwa si anak ‘baik-baik’ ini kuliah di FHUA, sama seperti Diana, mahasiswa di foto, dan kumpulan mahasiswa yang masih ada didalam rumah makan saat si anak ‘baik-baik’ ini sedang menelpon.
Sejujurnya, selama ini aku memang jarang atau malah hampir tidak pernah memperhatikan hal-hal yang dibicarakan oleh para pengunjung yang datang dan makan ke rumah makan sebelahku ini. Aku seringkali asyik sendiri terbawa jauh oleh alam pikiranku dan memikirkan hal-hal yang lain. Mungkin aku juga berpikir bahwa itu bukan urusanku dan tidak baik untuk mencampuri urusan orang lain. Namun, setelah aku diberikan tugas ini oleh Diana, aku baru menyadari bahwa hal-hal yang selama ini aku percaya sebagai hal yang baik, kuhargai dan selalu aku tanamkan itu kepada keluargaku ternyata tidak seputih dan sebersih perkiraanku.
***
Kulihat di seberang rel, Diana sedang menunggu untuk menyebrang karena ada kereta yang ingin lewat. Di dalam rumah makan disampingku, kulihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam kurang. Biasanya, pada pukul seperti ini, aku sudah berada ditempat lain. Setelah waktu Ashar, biasanya aku pindah mengemis di depan sebuah Mal yang aku tidak pernah tahu namanya yang memang posisinya tidak terlalu jauh dengan rumahku. Namun, hari ini, karena tugas yang diberikan oleh Diana, aku masih disini sampai sekarang. Kulihat ia sedang berjalan kearahku. Saat itu, seperti halnya siang tadi, suasana di sekitar sini kembali sepi. Namun, antara pukul tiga sampai pukul lima tadi sangat ramai mahasiswa yang makan di rumah makan disebelahku ini.
“Pak Sugeng,..gimana..?? berhasil..??”, tanya Diana sambil sekilas matanya menyapu sekeliling untuk memastikan tidak ada siapa-siap disana.
“Iya non, ini...”, jawabku sambil menyerahkan kembali alat dan foto tadi kepada Diana. Setelah menerimanya, Diana memijit beberapa tombol lalu menghidupkan dan mendengarkan sekilas hasil pengamatanku tadi. Nampaknya ia merasa puas akan hasil kerjaku, karena ia langsung tersenyum simpul. Ia lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar uang dua pulh ribu dan selembar uang sepuluh ribu rupiah sambil memasukkan alat tersebut kedalam tasnya.
“Ini pak, sesuai janji saya, dan saya juga kasih bonus ke Bapak..”, ujarnya sambil menyodorkan uang tersebut kepadaku.
”ooh...gak usah non...Bapak redho koq bantuin aja..”, ujarku sambil mengangkat tangan menolak pemberiannya. Mungkin karena kejadian-kejadian yang kualami hari ini aku jadi takut kalau-kalau uang ini juga bukan uang halal.
“ya ampuun..kenapa emangnya Pak ??...Pokoknya, uang ini Diana taruh sini, terserah Bapak pakai untuk apa, lagian ini gak banyak koq, seadanya aja dari uang jajan Diana sendiri..”, ujarnya sambil tetap tersenyum dan menaruh uang tersebut di wadah tempat uang dihadapanku. Penjelasannya mengenai uang itu merupakan uang jajan pribadinya membuatku lega. Paling tidak sedikit lega. Jadi, kuterima saja uang itu.
“Terimakasih non...Alhamdulillah..”, kataku sambil memungut uang itu dan memindahkannya dengan cepat ke bagian dalam bajuku.
“Iya pak...sama-sama, kapan-kapan kalau Diana butuh bantuan,,mau ya Pak Sugeng bantuin Diana lagi...??”, ujarnya sambil kembali berdiri, bersiap ingin pergi. Mungkin pulang ke rumah.
“Ngge...”, jawabku sambil sekilas melihat ke arahnya. Setelah mengucapkan terimakasih kembali, ia pergi.
Jadi, hari itu, hanya dalam rentang waktu sekitar tiga jam saja, ditempat yang sama dan tidak berpindah tempat sejengkal pun, aku telah mendengar dan melihat langsung sebagian ‘borok’ di kampus yang selalu dibangga-banggakan oleh anak, isteri dan semua orang yang kukenal. Tentu saja, jika selama ini aku menguping pembicaraan mereka, maka jumlah ‘borok’ di kampus ini akan jauh lebih banyak. Tetapi, aku tidak mau berpikir untuk menghitungnya, termasuk untuk kedepannya. Karena selain toh aku bukan siapa-siapa untuk bisa melaporkan mereka, aku sudah punya rencana lain. Mulai besok, aku akan berpindah tempat ’kerja’ dimana uang yang jatuh ke dalam wadahku adalah uang-uang halal. Bukan uang kotor hasil korupsi Jadi, nampaknya permintaan Diana yang terakhir tadi tidak bisa kulakukan.. Tetapi, tentunya aku tidak akan menceritakan hal ini kepada siapa-siapa, termasuk kepada keluargaku. Karena aku tidak ingin membuang harapan dan cita-cita anakku untuk bisa kuliah disini. Meskipun aku takut bahwa anakku mungkin akan terjerumus kepada perbuatan korupsi dan sejenisnya. Namun, aku yakin bahwa dikampus ini juga masih banyak ’Diana-Diana lain’.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar